Lintas Dimensi

Baiklah.

Siang tadi aku menerima kabar duka bahwa kekasih temanku, lebih tepatnya kekasih yang pernah mengisi hatinya --sampai sekarang--, telah berpulang.

Sudah bukan siapa-siapa lagi memang, tapi mereka masih berhubungan baik. Beberapa hari sebelum dia meninggalkan bumi, mereka hampir bertemu. Menuntaskan rindu yang selama ini tersimpan apik.

Tak ada yang mau mengakui rindu, tapi mereka sudah paham jika rindu tak melulu harus dikatakan. Dan satu-satunya cara untuk membayar rindu adalah temu.

Kamu bayangkan saja ditinggal selamanya oleh orang yang sempat menjadikan kita rumah, dan keadaan memaksanya untuk pulang pada rumah yang abadi.

Dia benar-benar baik, tak ingin melanjutkan cintanya dan juga tak ingin melunasi ribuan rindu pada perempuannya.

Karena...

Rasa-rasanya akan lebih menyesakkan jika mereka masih bertaut sedangkan garis takdir tak mengizinkan dia mencintai perempuan itu terlalu lama.

Pertemuan akan semakin sering, cerita akan semakin banyak, rindu akan semakin menggunung, dan rasa takut kehilangan akan semakin tumbuh.

Mungkin Tuhan akan bilang, mereka hanya sedang menunda perpisahan.

Membayangkannya saja membuatku sesak, apalagi jika aku yang mengalami. Mungkin hidupku akan remuk tak terjumlah.

Puisi ini aku persembahkan untuk temanku yang sangat kuat karena ini adalah kali kedua lelaki yang dicintai setelah Bapaknya meninggal.


Telah kulirihkan cinta
Pada semilir angin
Tuk menyapa jendelamu

Tuk bangunkan lelahmu
Dan kamu masih saja terjaga
Angin mencoba bernyanyi

Dengan embusan yang kencang
Kamu tetap dengan mimpimu
Kuminta matahari tuk terangi ruangmu

Matamu tetap tak terbuka
Kuminta mata yang lain
Tuk menyadarkanmu

Lalu kutemukan
Puluhan pasang mata
Berebut ingin membuatmu sadar

Barulah aku kalah dengan takdir
Aku akan menemui rindu
Yang selamanya tak akan pernah ku tuai

Waktumu untuk mencintaiku
Ternyata tak lama
Inilah genggaman terakhirku
Pada batu nisan milikmu





Comments

Post a Comment