Cerita Mini "Simpul Senyum Ketika Senja"

Sore ini memang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Mengapa kita bertemu? Bukankah hari-hari mu selalu di penuhi kegiatan? Aku tak akan menjelaskan dan aku tak peduli kau bertanya-tanya dengan paksa pun tak akan aku jawab. Yang aku pedulikan hanya; Aku harus bisa membuat simpul senyum di bibirmu sebelum kita berpisah (lagi). Katanya.
                                                 ***
          Kau datang dengan tiba-tiba. Untungnya yang membuka pintu saat itu Ibu.
Aku pun keluar dari kamar dengan mata yang sembab karena air mata. Tapi, ku lihat senyuman yang tak asing. Ya, dia ada di rumahku. –Tanpa mengabari—
Kesal bercampur bahagia. Jadi gini yaa rasanya...
Dia langsung mengajakku keluar.
“Liat senja, yu?”
Senja? Setelah kepergiannya ke perantauan beberapa minggu lalu –sebelum dia kembali, sekarang-- aku memang tak pernah lagi melihat senja. Hariku lebih ku habiskan untuk menyendiri.
Tanpa respon ataupun ataupun anggukan, aku langsung mengganti pakaian dan keluar tanpa mengajak dia keluar bersamaan. Entah, saat itu hatiku sedang rumit. Tapi dia mengekorku dari belakang.
***
          Aku merasakan lagi udara luar, denganmu. Kataku dalam hati.
Tanpa kata yang aku keluarkan, mungkin dia mengerti mengapa aku diam saja atau bahkan ketika dia bertanya kabar pun aku tidak menjawab. Antara fokus dan tidak fokus karena aku masih terkejut bisa menikmati senja (lagi) setelah sekian lama.
Perjalanan kali ini aku sedang tidak baik-baik saja. Hatiku berkecamuk.
Jelas-jelas tulisanku beberapa minggu yang lalu selalu ku hapus meskipun sudah 785 kata yang aku ungkapkan. Ternyata aku juga bisa benci tulisanku sendiri.

                                                ***
         Kita tidak boleh melewatkan senja, besok aku berangkat. Katanya.
Seperti biasa, aku hanya terdiam sambil menahan genangan air bening keluar dari mataku –-jangan sampai--.
Tepat.
Hanya itu yang aku ucapkan. Lalu dia menoleh dengan senyum yang penuh dengan rona bahagia. Memang kita tepat waktu untuk melihat senja. Indah. Itu gumamku.
Sesekali memang dia melirikku, tapi pandanganku tetap pada senja dan aku merasa tenang. Entah karena aku melihat senja, entah karena orang yang ada di sampingku. Entah.
Kenapa kau pulang? Tanyaku.
Akhirnya kau bertanya, aku rindu suaramu. Mungkin aku lebih rindu menikmati senja denganmu. Katanya.
Kalimat yang cukup membuatku tersenyum meskipun bibirku hanya bergerak 1 cm ke kiri dan ke kanan.
                                                          ***
Pada senja kali ini, aku tidak mendengar dia mengeluh sedikitpun. Padahal aku tau dia sedang tidak baik-baik saja karena urusan kuliah dan kepanitiaan, disana. Tapi dia tetap tertawa, sangat lepas. Benar saja, dia pandai menyembunyikan beban pada saat-saat tertentu.
Mungkin dia tidak cerita karena dia juga tau aku sedang tidak baik-baik saja.
***
Ketika dengannya, air bening itu seolah beku dan bisa ku tahan, seolah aku terlihat kuat.
Dia lebih banyak bercanda, mungkin karena dia berusaha membuatku tersenyum. Tapi dia selalu punya cara, aku berhasil tersenyum dengan caranya yang sederhana namun sempurna.
Seolah aku lupa kenapa aku bisa membenci dia, seolah aku lupa kenapa alasan aku terlalu menyendiri.
Sesekali aku menatap matanya. Ku temukan keteduhan.
Semoga waktu tidak cepat berlalu, aku ingin tetap disini. Denganmu.
Mata nya tidak lagi tertuju padaku, matanya hanya tertuju pada senja yang sebentar lagi pergi. –Sepertimu—
Maaf.... Katanya
Lirih, namun aku bisa mendengar. Aku hanya menunduk. Aku tidak bisa menjawab.
Ada kesedihan di wajahnya.
Kau harus percaya... Mata mu tidak boleh sembab (lagi).
Sendu, namun kali ini dia berbicara sedikit keras.
Kini dia melirikku. Aku kembali tersenyum sambil mengangkat kedua jempolku.
Kita menikmati senja hanya sekejap. Tapi berhasil membuat kenangan yang lama dalam ingatanku.
                                                          ***

Hari pun semakin gelap, lampu lampu 5 watt mulai terlihat di teras beberapa rumah, hanya agar terlihat bahwa di rumah itu ada cahaya kebahagiaan keluarga.
Kita bergegas pulang karena Ibu sudah menelpon dia, bukan aku. Hmm.. Se-percaya itukah Ibu?
Dengan sigap dia memberikan jaketnya untukku, padahal baju ku cukup tebal. Tidak memakai jaket pun ku rasa aku tidak akan kedinginan.
Sebelum aku pergi, selama perjalanan kau tidak boleh diam. Kau harus terus bicara padaku. Karena aku akan merindukan suara mu. Katanya.
Aku kembali tersenyum.
Ini bukan senja terakhir kita, kan?
Selamat berjuang kembali :)

                                                          ***

Comments