Sudah waktunya pulang, aku butuh jeda panjang untuk memaknai sebuah perjalanan kehilangan yang membuatku bertemu pada cerita yang berulang. Menyedihkan.
Kita gagal membangun sebuah rumah dari kata dan huruf yang disambung dan dieja.
Kita gagal sepakat untuk melahap senja di puncak bukit, merebahkan riuh di antara semilir angin yang mengacaukan kataku saat menulis puisi.
Seseorang telah membawa kabur sepotong hatiku. Tak ada tawar menawar, aku memilih hidup dengan puisi-puisi yang selamanya sunyi; puisi yang tak pernah ingkar janji.
Aku memaksa pikirku untuk tak mengingatmu tanpa jeda. Menyadari aku dan kamu sebatas cerita perihal puisi, buku, lagu dan pertemuan.
Tak ada lagi yang menikmati kata-kataku selain secangkir teh di beranda, lalu kembali berbincang memandang Tuan yang memilih berlalu.
Maaf,
Kata-kataku sedang kewalahan menampung ketakutan yang perlahan sedang kurasakan.
Aku berlari sepanjang hujan
Mengejar redup bayangmu
Terbata mengeja langkahmu
Aku masih berlari sepanjang hujan
Berharap menemukan sepasang langkahmu
Sepasang langkah kita
Kemana perginya langkah kita?
Jejak-jejakmu, sepatu-sepatuku
Tak kukenali lagi mereka, berjarak
Siapa yang pantas
Mengikuti jejakmu?
Dan tinggal di matamu?
Kenapa tidak sejak dulu aku alpa dengan keberadaannya? Aku benci anak hujan yang memisahkan muatan jatuh cinta dan kehilangan.
Comments
Post a Comment