Aku terlalu menuliskanmu dengan serius, ya? Kenapa? Kamu tidak suka di jadikan peran utama, ya? Aku hanya menjalani peran yang berusaha kusembunyikan, menyelinap pada kata-kata yang selalu di umpamakan agar bisa sampai pada hatimu. Sebelum mimpiku semakin jauh, sebelum rasaku semakin dalam, kamu bisa bicarakan apa yang kamu mau, begitupun aku.
Kisah ini kuserahkan seluruhnya padamu. Mau, ya?
Sungguh, ini keuntungan untukmu. Karena ketika kamu memintaku untuk menetap, dengan senang hati aku takkan kemana-mana. Kalaupun sebaliknya, dengan berat hati aku akan kembali pada semesta yang dulu kuciptakan sebelum kamu berwujud nyata.
Mungkin aku akan kembali menahan isak yang menyesak.
Tanpa ku berbicara pasti kamu sudah tau mauku, bukan? Tak perlu ku jelaskan lagi "hal" yang berusaha kusamarkan setiap hari malah semakin pekat.
Biar tidak salah paham, perihal mauku kamu ingin aku jujur atau berbohong?
Aku tidak mau menyadari bahwa sekarang aku sedang kehilangan. Aku beralasan ini hanya karena buku menyedihkan yang akhir-akhir ini sedang kubaca.
Tiba-tiba kita lenyap ditelan senyap, tak pernah lagi ada kabar. Percakapan seperti dibakar lalu dikubur.
Aku sempat yakin bahwa suatu saat nanti aku bisa memetik hangat matamu, dan kamu menggiring jemariku ke sana kemari diantara senar-senar gitar.
Menemanimu menutup mata di dalam lelap mimpi-mimpi yang purba, dan aku terus melanjutkan dongeng yang kita sepakati akan kubaca sampai akhir cerita.
Garis tawamu selalu tergaris pada dinding ingatanku, sementara takdir entah akan menggariskan akhir yang seperti apa.
Comments
Post a Comment