Sudah cukup menabung rindunya, sudah? Kita pecahkan celengannya malam ini, boleh?
Sejak tak ada sajak-sajakku, bagaimana keadaan di rumah kita? Tetap sejuk atau malah pengap seperti di himpit banyak beban? Hahaha. Aku pulang, Sayang. Sejauh apapun aku pergi, aku akan pulang berjalan menuju belantara dadamu.
Berhari-hari tak membuatkanmu sajak, rasa-rasanya aku merasa banyak kata yang mati. Dan rindu semakin menjadi.
Mesin pengingat selalu memintaku untuk terus mengingat kamu yang serba menyiapkan apa-apa sendiri selama aku pergi.
Mesin pengingat selalu memintaku untuk terus mengingat kamu yang serba menyiapkan apa-apa sendiri selama aku pergi.
Kasihan kamu. Saat itu aku benar-benar ingin segera pulang.
Sayang,
Setiap hari aku bertemu dengan orang-orang yang pandai bersajak, sajaknya tak sebagus punyaku. Aku merasa tidak ada apa-apanya. Padahal ketika di rumah, aku merasa sajakku yang terbaik. Tentu saja, karena di rumah yang bersajak hanya aku. Aku mau membandingkan dengan siapa?
Mungkin sekarang sampai nanti kamu satu-satunya yang bernyawa yang menyukai puisiku.
Aku sadar bahwa untuk menikah tidak harus sama kecuali agama. Kamu tak mau bersajak, tak apa. Aku tak akan memaksamu. Karena kamu pun tidak pernah memaksaku untuk menyukai hal yang kamu sukai, dan hal yang aku tak bisa.
Disini banyak tawa-tawa yang ramai tapi tawar. Aku tak suka keramaian disini. Aku lebih suka berdua bercerita denganmu.
Selang beberapa menit setelah aku membacakan sajak, di bawah lampu temaram aku menulis kata demi kata untuk ku bekal ketika pulang.
Mereka bertanya
Sebahagia apa aku hidup denganmu?
Kusuruh mereka rasakan degup jantungku
Menatap netraku
Mereka bilang
Tak menemukan apa-apa
Ku balas
Bahagiaku sangat dalam tak terhingga, dan tak akan ditemukan orang sepertimu
Tuan,
Terima kasih sudah menyiapkan hal istimewa di meja makan malam ini; senyummu yang menyambutku pulang bersajak.
Comments
Post a Comment