Aku tak kuasa mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta. Ku ibaratkan semuanya seperti jarum, lambat laun akan menikam.
Meski untuk mencintaimu aku tak bepikir mataku akan sembab.
Aku berusaha membuat sekat supaya aku tak menemukan cintaku sendiri.
Aku memilih tersesat pada labirin yang aku ciptakan saat bumi berteriak memintaku untuk jatuh cinta.
Aku tak bisa. Ini bukan waktunya.
Dalam balutan angin daun-daun gugur
Aku tak mau merindu siapapun
Biar ia luruh lembut menyentuh bumi
Kau cukup kudekap dengan aksara
Bumi memintaku menelaah setiap sisi, terutama matamu. Ku tarik napas, teduh matamu tepat menghujam dada. Aku tidak ingin apa-apa lagi selain mengubah laju waktu.
Biar waktu berhenti saat mata kita beradu padu.
Sebenarnya apa yang bumi mau dariku? Bumi menyuruhku jatuh cinta, namun untuk mengenal sepotong senyumnya saja aku kesulitan. Samar.
Sebenarnya apa yang bumi rencanakan untukku? Sekarang, aku hanya bisa membaca di kamar dengan nyala lampu yang remang. Jendela sedang melukis kehilangannya melalui rintik hujan yang berkaca-kaca.
Ku hibur dengan membacakan buku puisi yang sedang kubaca. Ia marah dan memecahkan kacanya sendiri.
"Kamu mati-matian menghiburku dengan puisimu, padahal kamu sendiri melangkah dengan terseok-seok, dan membaca dengan kelu karena dukamu."
Jendela kembali memberontak; Meski bumi membuat dia tersenyum karenamu, kamu akan tetap keras kepala karena tak mau jatuh cinta bahkan sebelum cinta tiba di dadamu.
Comments
Post a Comment