"Jangan menulis lagi tentangku. Berhenti menceritakan bahwa kamu (pernah) mencintaiku sekuat ini. Semuanya omong kosong." katanya.
Gila!
Kenapa tulisanku yang disalahkan?
Memangnya kau merasa sehebat apa? Hebat karena telah melupakan semuanya dengan cuma-cuma?
Merasa bahwa aku akan terus mencintaimu?
Sesak? Tidak. Aku tidak merasakan lagi kesakitan. Aku terlanjur bebal dengan ucapannya yang sangat ingin aku masukan tisu kering yang basah pada mulutnya.
Aku sudah bilang, bahagialah kamu tanpa sepengetahuanku. Hari ini, aku meminta pada semesta untuk mengalihkan duniaku agar tidak berputar-putar pada lingkup tentangmu.
Harusnya, hari ini aku berani melangkah. Melupakan semuanya dengan sungguh.
Aku tidak merepotkanmu untuk mencintaiku lagi ataupun memintamu untuk kembali, bukan?
Toh, aku juga tidak ingin dibersamakan dengan orang yang dalam sudut hatinya menganggap bahwa aku tidak lebih penting dari sekedar masa lalu.
Malam ini aku akan melangkah membiarkan semuanya jauh tertinggal dibelakangku.
Atas dasar apa aku harus tetap disini? Di tempat yang sama menunggumu berbalik arah.
Alasan apa yang membuatku harus tetap mencintaimu?
Harimu selalu baik-baik saja, tentu ketika aku pergi dan tidak menunggu lagi, hidupmu pasti akan jauh lebih baik. Kamu tidak akan merasa terus "dikejar" masa lalu.
Begitu maumu?
Ah! Sial! Baiklah akan aku turuti!
Seharusnya ini adalah alasan aku harus lebih jauh berlari, kan?
Satu hari sebelum dia mengatakan demikian, gilanya, betapa bodohnya aku menceritakan yang biasanya aku lakukan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Tadinya, aku hanya ingin dia merasa bahwa tulisanku tentangnya tidak pernah main-main.
Kalau aku sebercanda itu dalam menulis, mengapa sebagian mereka yang membaca merasa hidup?
"Hari ini aku mendapat email dari salah satu pembacaku, dia mengatakan menyukai tulisanku dan dia merasa hidup ketika membacanya. Dia memintaku untuk tetap menulis. Dia selalu membacakan tulisanku pada Ayahnya yang meskipun usianya sudah 53 tahun beliau tetap bekerja sebagai penjual koran. Lantas Ayahnya berkata, dulu Ibu juga suka mengirimkan puisinya di koran."
Ibunya telah meninggal.
Dia... Dia hanya anak kelas sembilan yang mengetahui tulisanku dari temannya, yang akupun tidak tahu temannya yang mana.
Aku hanya bersyukur, tulisanku dihargai oleh siapapun itu.
Apa yang Tuan itu katakan padaku?
"Kamu bodoh. Dia cuma modus."
Aku ingin menyebut pikirannya gila, bagaimana bisa dia tidak bisa menghargai orang lain se-di-kit-pun?
Hah! Sepertinya aku memang harus pergi dan tidak perlu lagi menuliskan apa-apa tentangmu.
Berbahagialah dengan perempuan yang telah membuat hatimu sekeras batu.
Gila!
Kenapa tulisanku yang disalahkan?
Memangnya kau merasa sehebat apa? Hebat karena telah melupakan semuanya dengan cuma-cuma?
Merasa bahwa aku akan terus mencintaimu?
Sesak? Tidak. Aku tidak merasakan lagi kesakitan. Aku terlanjur bebal dengan ucapannya yang sangat ingin aku masukan tisu kering yang basah pada mulutnya.
Aku sudah bilang, bahagialah kamu tanpa sepengetahuanku. Hari ini, aku meminta pada semesta untuk mengalihkan duniaku agar tidak berputar-putar pada lingkup tentangmu.
Harusnya, hari ini aku berani melangkah. Melupakan semuanya dengan sungguh.
Aku tidak merepotkanmu untuk mencintaiku lagi ataupun memintamu untuk kembali, bukan?
Toh, aku juga tidak ingin dibersamakan dengan orang yang dalam sudut hatinya menganggap bahwa aku tidak lebih penting dari sekedar masa lalu.
Malam ini aku akan melangkah membiarkan semuanya jauh tertinggal dibelakangku.
Atas dasar apa aku harus tetap disini? Di tempat yang sama menunggumu berbalik arah.
Alasan apa yang membuatku harus tetap mencintaimu?
Harimu selalu baik-baik saja, tentu ketika aku pergi dan tidak menunggu lagi, hidupmu pasti akan jauh lebih baik. Kamu tidak akan merasa terus "dikejar" masa lalu.
Begitu maumu?
Ah! Sial! Baiklah akan aku turuti!
Seharusnya ini adalah alasan aku harus lebih jauh berlari, kan?
Satu hari sebelum dia mengatakan demikian, gilanya, betapa bodohnya aku menceritakan yang biasanya aku lakukan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Tadinya, aku hanya ingin dia merasa bahwa tulisanku tentangnya tidak pernah main-main.
Kalau aku sebercanda itu dalam menulis, mengapa sebagian mereka yang membaca merasa hidup?
"Hari ini aku mendapat email dari salah satu pembacaku, dia mengatakan menyukai tulisanku dan dia merasa hidup ketika membacanya. Dia memintaku untuk tetap menulis. Dia selalu membacakan tulisanku pada Ayahnya yang meskipun usianya sudah 53 tahun beliau tetap bekerja sebagai penjual koran. Lantas Ayahnya berkata, dulu Ibu juga suka mengirimkan puisinya di koran."
Ibunya telah meninggal.
Dia... Dia hanya anak kelas sembilan yang mengetahui tulisanku dari temannya, yang akupun tidak tahu temannya yang mana.
Aku hanya bersyukur, tulisanku dihargai oleh siapapun itu.
Apa yang Tuan itu katakan padaku?
"Kamu bodoh. Dia cuma modus."
Aku ingin menyebut pikirannya gila, bagaimana bisa dia tidak bisa menghargai orang lain se-di-kit-pun?
Hah! Sepertinya aku memang harus pergi dan tidak perlu lagi menuliskan apa-apa tentangmu.
Berbahagialah dengan perempuan yang telah membuat hatimu sekeras batu.
Comments
Post a Comment