Sudah Kubilang, Pergilah

Sungguh, aku tidak pernah merasa sia-sia telah mencintaimu selama ini, setabah ini.
Aku tidak pernah menyesal menulis namamu diantara rentetan mimpi besarku. Sungguh, aku tidak main-main.

Inilah akhirnya...
Satu-satunya manusia yang percaya mimpiku akan terwujud, memilih pergi. Sepertinya itu bukan kalimat yang tepat, harusnya, aku yang menyuruhnya pergi karena dia telah mengenalkan sebuah pengabaian.
Tetap saja, dia tidak ingin disalahkan, dan lagi-lagi semua orang menilai akulah yang salah.

Tangga demi tangga mimpiku sudah terwujud, lantas aku coret mimpi itu dan kembali menuliskan mimpi yang baru. Mimpi yang mungkin diluar nalarku.
Pun, nama yang ada di urutan pertama, telah aku hapus.

Tidak kutemukan lagi namamu, kosong. Kubiarkan dan tidak ku ganti dengan nama siapapun, entah karena aku sedang tidak mencintai siapa-siapa, atau mungkin kamu masih ada diantara mimpiku. Semoga bukan alasan yang kedua.

Aksi ada karena sebuah reaksi.

Bertahun-tahun bersama tidak selamanya berakhir bersama. Telah berbagi keluh ataupun mimpi, ternyata kita memilih meremuk mimpi untuk bersama.
Kita hanya jadi penonton pada semua mimipi-mimpi yang pernah kita ceritakan dulu.

Sungguh, melibatkanmu dalam mimpi bukanlah suatu kesia-siaan yang harus aku sesali.

Tuan, yang maha baik dan sempurna. Aku tegaskan kembali.
Kamu telah melakukan kesalahan untuk menyamaratakan salah demi membalas sebuah dendam, apa itu tandanya kamu benar-benar tidak pernah bersalah? Hahaha.

Sekarang, pergilah dengan perempuan yang selalu menganggap masa lalumu tanpa sebuah "cela".
Kian hari, tuturmu memang sakti untuk mencela masa lalu seseorang.

Terlalu sibuk mempermasalahkan kesalahan orang lain, sampai-sampai tak tau diri dengan kesalahannya.


Comments

Post a Comment