Lagi-lagi dia menarik seluruh serapahku yang sekarang lenyap. Dia memasangkan pikirannya dengan sikapku yang dulu.
Dia berdalih, seseorang dengan masa lalu yang buruk tidak pantas dijadikan masa depan.
Tuan,
Baiklah ...
Semoga istrimu kelak memang tidak pernah merasakan "Pahitnya masa lalu" -sepertiku-.
Arti kelam itu luas.
Pikiranmu yang dangkal kalau buruk diartikan dengan hal itu-itu saja.
Bukankah bertahan dengan orang yang tidak mencintai kita tidak kalah lebih buruknya?
Bukankah berjuang sendiri ditengah pengabaian juga tidak kalah dari kelamnya?
Bukankah mencintai terlalu mati-matian tapi berakhir dengan pengkhianatan tidak kalah memuakkannya?
Penyalahan darinya selalu membuatku berjalan semakin terseok, tak ingin menemui siapapun.
Aku memang pantas disalahkan, pikirku.
Apa kabar dengan kamu?
Tentu. Dimatamu, --seperti tulisanku sebelumnya-- kamu memang tidak pernah bersalah. Padahal aku ingin sekali memberikan kaca untukmu.
Sebelum menyalahkan orang lain, kita memang harus berkaca.
Saat melihatku, dia bilang, dia merasa separuhnya telah disakiti.
Loh, memangnya aku tidak merasakan demikian?
Dia bahkan lupa, saat tawaku dan tawanya berbaur, dia lupa rasa sakitnya dan akupun sama. Itu dulu.
Sekarang?
Ah, tidak perlu ku jawab lagi.
Aku selalu bertanya-tanya.
Apakah kamu baik-baik saja dengan penyalahan yang selalu kamu lakukan terhadapku?
Buka matamu, selebar dunia.
Ketika aku bersalah, apa benar kamu tidak pernah benar-benar melakukan kesalahan?
Dia berdalih, seseorang dengan masa lalu yang buruk tidak pantas dijadikan masa depan.
Tuan,
Baiklah ...
Semoga istrimu kelak memang tidak pernah merasakan "Pahitnya masa lalu" -sepertiku-.
Arti kelam itu luas.
Pikiranmu yang dangkal kalau buruk diartikan dengan hal itu-itu saja.
Bukankah bertahan dengan orang yang tidak mencintai kita tidak kalah lebih buruknya?
Bukankah berjuang sendiri ditengah pengabaian juga tidak kalah dari kelamnya?
Bukankah mencintai terlalu mati-matian tapi berakhir dengan pengkhianatan tidak kalah memuakkannya?
Penyalahan darinya selalu membuatku berjalan semakin terseok, tak ingin menemui siapapun.
Aku memang pantas disalahkan, pikirku.
Apa kabar dengan kamu?
Tentu. Dimatamu, --seperti tulisanku sebelumnya-- kamu memang tidak pernah bersalah. Padahal aku ingin sekali memberikan kaca untukmu.
Sebelum menyalahkan orang lain, kita memang harus berkaca.
Saat melihatku, dia bilang, dia merasa separuhnya telah disakiti.
Loh, memangnya aku tidak merasakan demikian?
Dia bahkan lupa, saat tawaku dan tawanya berbaur, dia lupa rasa sakitnya dan akupun sama. Itu dulu.
Sekarang?
Ah, tidak perlu ku jawab lagi.
Aku selalu bertanya-tanya.
Apakah kamu baik-baik saja dengan penyalahan yang selalu kamu lakukan terhadapku?
Buka matamu, selebar dunia.
Ketika aku bersalah, apa benar kamu tidak pernah benar-benar melakukan kesalahan?
Comments
Post a Comment