Bukan lagi ratusan kilometer jarak yang harus kita tempuh, melainkan hanya tinggal jemari yang siap ditautkan. Tapi gagal.
Mata kita malu-malu untuk beradu padu, akhirnya pertemuan kita hanya ditemani kesunyian.
Kurasa, mataku dan matamu lebih mengerti jika dipertemukan, mereka saling berbicara dalam lekatnya, meski jiwa kita sama-sama bungkam.
Menurutmu, pertemuan tadi menuntaskan rindu atau malah membuat luka baru?
Aku akan menjawab kalau kamu sudah menjawab.
Kenapa kamu selalu bungkam ketika denganku? Kenapa harus selalu aku yang memulai? Kamu bukan bayanganku, kan? Kamu nyata, ada didepanku.
Aku tidak memintamu berbicara perihal masa depan, kan?
Aku sudah tidak melihat masa depan di matamu.
Tentu, mungkin, aku bukan masa depanmu. Hahaha. Kita hanya pernah menjadikan diri masing-masing sebagai masa depan. Nyatanya? Nihil.
"Kamu tidak membawa oleh-oleh untukku?"
Sebuah pertanyaan yang aku lontarkan untuk memulai obrolan.
Tapi, apa jawabmu? Senyum pun tidak kamu lengkungkan.
Hahaha bisa-bisanya aku masih merasa bahagia dengan perlakuanmu yang demikian.
Bagusnya, kamu memang tidak pernah datang.
Oh, bukan. Bagusnya, memang sampai saat ini aku tidak perlu menunggumu.
Harusnya aku banyak belajar darimu, bagaimana hebatnya kamu menganggap kita benar-benar asing.
"Kamu tidak membawa mobil?"
"Tidak. Aku simpan disana."
Konyol!
Mana tau aku kemana kamu sebelum kesini? Ah, harusnya aku tidak perlu banyak bertanya.
Kamu ingin segera pergi karena muak denganku, kan? Hahaha. Sayang, kali ini perasaan kita tidak sama :)
Kamu sama sekali tidak pernah memuakkan di mataku. Sekalipun kita bukan siapa-siapa lagi. Kita memang sudah tidak sehaluan.
Kita berlalu di persimpangan jalan. Tanpa sepatah kata tentang perpisahan.
Aku memilih jalan kiri dan kamu jalan kanan. Kita tidak sejalan.
Oh, yaa.. Ketika kita memilih berlalu dengan debar masing-masing, apa kamu menoleh ke belakang untuk melihat berlalunya aku sampai hilang dari netramu?
Tidak, kan?
Hahaha. Aku tau itu, karena jelas aku yang melihatmu berlalu sampai tak ku lihat lagi punggungmu. Dan kamu tidak berbalik meski hanya untuk sekedar melambaikan tangan.
Semoga kita tidak pernah dipertemukan lagi. Semoga bahagiamu dimudahkan.
Note:
-Kalau pembaca merasa ini kisahku, aku sudah berhasil mengajak kalian menjadi aku selama beberapa menit. Kalau pembaca merasa ini fiksi, berarti aku juga sudah berhasil mengajakmu bergelut dalam pikiran masing-masing."
Entah di halaman berapa kalian akan membaca ini.
Mata kita malu-malu untuk beradu padu, akhirnya pertemuan kita hanya ditemani kesunyian.
Kurasa, mataku dan matamu lebih mengerti jika dipertemukan, mereka saling berbicara dalam lekatnya, meski jiwa kita sama-sama bungkam.
Menurutmu, pertemuan tadi menuntaskan rindu atau malah membuat luka baru?
Aku akan menjawab kalau kamu sudah menjawab.
Kenapa kamu selalu bungkam ketika denganku? Kenapa harus selalu aku yang memulai? Kamu bukan bayanganku, kan? Kamu nyata, ada didepanku.
Aku tidak memintamu berbicara perihal masa depan, kan?
Aku sudah tidak melihat masa depan di matamu.
Tentu, mungkin, aku bukan masa depanmu. Hahaha. Kita hanya pernah menjadikan diri masing-masing sebagai masa depan. Nyatanya? Nihil.
"Kamu tidak membawa oleh-oleh untukku?"
Sebuah pertanyaan yang aku lontarkan untuk memulai obrolan.
Tapi, apa jawabmu? Senyum pun tidak kamu lengkungkan.
Hahaha bisa-bisanya aku masih merasa bahagia dengan perlakuanmu yang demikian.
Bagusnya, kamu memang tidak pernah datang.
Oh, bukan. Bagusnya, memang sampai saat ini aku tidak perlu menunggumu.
Harusnya aku banyak belajar darimu, bagaimana hebatnya kamu menganggap kita benar-benar asing.
"Kamu tidak membawa mobil?"
"Tidak. Aku simpan disana."
Konyol!
Mana tau aku kemana kamu sebelum kesini? Ah, harusnya aku tidak perlu banyak bertanya.
Kamu ingin segera pergi karena muak denganku, kan? Hahaha. Sayang, kali ini perasaan kita tidak sama :)
Kamu sama sekali tidak pernah memuakkan di mataku. Sekalipun kita bukan siapa-siapa lagi. Kita memang sudah tidak sehaluan.
Kita berlalu di persimpangan jalan. Tanpa sepatah kata tentang perpisahan.
Aku memilih jalan kiri dan kamu jalan kanan. Kita tidak sejalan.
Oh, yaa.. Ketika kita memilih berlalu dengan debar masing-masing, apa kamu menoleh ke belakang untuk melihat berlalunya aku sampai hilang dari netramu?
Tidak, kan?
Hahaha. Aku tau itu, karena jelas aku yang melihatmu berlalu sampai tak ku lihat lagi punggungmu. Dan kamu tidak berbalik meski hanya untuk sekedar melambaikan tangan.
Semoga kita tidak pernah dipertemukan lagi. Semoga bahagiamu dimudahkan.
Note:
-Kalau pembaca merasa ini kisahku, aku sudah berhasil mengajak kalian menjadi aku selama beberapa menit. Kalau pembaca merasa ini fiksi, berarti aku juga sudah berhasil mengajakmu bergelut dalam pikiran masing-masing."
Entah di halaman berapa kalian akan membaca ini.
Selalu terhanyut dan terkesima. Jazakillah penulisku setidaknya sellalu mewakili perasaan diri ini :)
ReplyDeleteCinta dan peluk jauh untukmu.
ReplyDeleteTaken for granted syndrome
ReplyDelete