Entah di tahun berapa kamu akan membaca tulisan saya, kamu yang bersumpah tak akan membaca puisi saya, tulisan saya, dan tak mau tau segala apapun tentang saya.
Saya; yang pernah benar-benar ada untukmu. Pun sebaliknya.
Semoga kamu tak mengingkari sumpah serapahmu itu.
Saya selalu menjadikan kamu warna setiap harinya, sampai pada akhirnya kamu sendiri yang memilih memudarkan warna itu perlahan.
Sampai kapan kamu akan terus menyudutkan saya? Bertingkah seolah kamu paling terluka, kamu menjadi korban, padahal saya tak kalah terlukanya.
Kamu melontarkan kata-kata yang sebenarnya saya pikir, kata itu juga pantas untukmu.
Nyatanya, apa yang saya lakukan? Saya tak mencercamu, malah saya mendengarkan semua serapahmu tanpa kamu sadar, kamu juga sudah bersalah. Ah, kamu memang tak ingin disalahkan.
Selepas kepergianmu, masih ada yang menggelitik dalam hati saya. Entah itu harapan, atau kekecewaan. Saya berat mengakui bahwa ini adalah sebuah harapan, ditengah kamu menyerahkan semua mimpi saya, untuk saya wujudkan seorang diri.
Perihal kita sudah tuntas, bahkan saya tak ingin lagi menyebut kita sebagai kita. Hanya saja saya tak menemukan kata yang tepat untuk dua orang yang pernah dekat, pernah saling mendekap, tapi sekedar menyapa pun enggan dilakukan.
Selepas kepergianmu,
Yang tersisa di hariku hanya dingin yang tak beranjak
Tanpa ragu, tangis memanggil
Terisak hati diam membisu
Saya tak habis pikir dengan penyalahan yang kamu lakukan. Untuk apa kamu mengatakan bahwa alasan kita menjadi asing adalah saya yang jatuh cinta pada pria lain?
Ucapanmu seperti benang kusut, bilang saja bahwa kamu yang telah jatuh cinta lagi, tak perlu menjual saya dalam hubungan ini.
Kita telah usai dan usang
Sepanjang kamu membaca ini, pasti pada kalimat sebelum ini kan yang kamu tunggu? Usai dan usang.
Kamu pikir dengan cara jatuh cinta lagi, lukamu, luka saya, luka kita, akan pulih?
Kamu memilih untuk mati rasa karena kekecewaan pada saya, dan kamu pikir semua perempuan sama? Hey, memangnya saya tak pernah berpikir demikian?
Berhenti menyalahkan saya, berhenti seolah kamu telah menjadi korban.
Nyatanya kita sama-sama menjadi korban karena saling menyakiti oleh hati yang sama-sama masih merasa memiliki, padahal tidak.
Saya; yang pernah benar-benar ada untukmu. Pun sebaliknya.
Semoga kamu tak mengingkari sumpah serapahmu itu.
Saya selalu menjadikan kamu warna setiap harinya, sampai pada akhirnya kamu sendiri yang memilih memudarkan warna itu perlahan.
Sampai kapan kamu akan terus menyudutkan saya? Bertingkah seolah kamu paling terluka, kamu menjadi korban, padahal saya tak kalah terlukanya.
Kamu melontarkan kata-kata yang sebenarnya saya pikir, kata itu juga pantas untukmu.
Nyatanya, apa yang saya lakukan? Saya tak mencercamu, malah saya mendengarkan semua serapahmu tanpa kamu sadar, kamu juga sudah bersalah. Ah, kamu memang tak ingin disalahkan.
Selepas kepergianmu, masih ada yang menggelitik dalam hati saya. Entah itu harapan, atau kekecewaan. Saya berat mengakui bahwa ini adalah sebuah harapan, ditengah kamu menyerahkan semua mimpi saya, untuk saya wujudkan seorang diri.
Perihal kita sudah tuntas, bahkan saya tak ingin lagi menyebut kita sebagai kita. Hanya saja saya tak menemukan kata yang tepat untuk dua orang yang pernah dekat, pernah saling mendekap, tapi sekedar menyapa pun enggan dilakukan.
Selepas kepergianmu,
Yang tersisa di hariku hanya dingin yang tak beranjak
Tanpa ragu, tangis memanggil
Terisak hati diam membisu
Saya tak habis pikir dengan penyalahan yang kamu lakukan. Untuk apa kamu mengatakan bahwa alasan kita menjadi asing adalah saya yang jatuh cinta pada pria lain?
Ucapanmu seperti benang kusut, bilang saja bahwa kamu yang telah jatuh cinta lagi, tak perlu menjual saya dalam hubungan ini.
Kita telah usai dan usang
Sepanjang kamu membaca ini, pasti pada kalimat sebelum ini kan yang kamu tunggu? Usai dan usang.
Kamu pikir dengan cara jatuh cinta lagi, lukamu, luka saya, luka kita, akan pulih?
Kamu memilih untuk mati rasa karena kekecewaan pada saya, dan kamu pikir semua perempuan sama? Hey, memangnya saya tak pernah berpikir demikian?
Berhenti menyalahkan saya, berhenti seolah kamu telah menjadi korban.
Nyatanya kita sama-sama menjadi korban karena saling menyakiti oleh hati yang sama-sama masih merasa memiliki, padahal tidak.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete