Lagi-lagi aku merindukannya. Sosok yang tidak pernah ada ketika aku mengatakan; rindu.
Aku memendamnya sendirian. Sayang, sesak yang aku rasa lebih mengungguli daripada rindu itu sendiri, artinya tetap saja ketika aku merindukannya, akan beriringan dengan sesak.
Sesak sekaligus rindu padanya tidak bisa dipisahkan.
Tidak mungkin aku mengatakan sumpah serapah pada beliau. Sungguh, tidak akan mungkin.
Bagaimana caraku marah? Bagaimana caraku ketika merindukannya? Diam. Yaa, aku diam.
Memang tidak ada yang bisa aku lakukan selain diam.
Doa? Belum mengobati rinduku. Masih sama-sama di dunia tapi terhalang benteng samar.
Bapak? Apa aku tidak salah dengar? Sepertinya aku salah dengar, bahkan aku tidak mendengarnya.
Apa? Apa katamu? Ba? Apa? Bapak?
Hah!
Aku ingin bersumpah bahwa sangat merindukan sosoknya. Aku pernah berpikir jahat, kenapa beliau masih ada di dunia jika sampai kapanpun kita tidak pernah bisa bertemu? Lebih tepatnya beliau tidak pernah berusaha untuk meruntuhkan benteng itu.
Aku selalu merasa dia tidak lagi di bumi yang sama.
Sudah sangat lama aku tidak menulis tentang beliau. Karena... Yaaa begitu, aku tidak mau dihantui rindu dan sesak ketika menulisnya.
Bayangkan saja kelas enam SD, tau apa tentang kehilangan, tau apa tentang kepergian. Aku hanya berpikir bahwa aku sangat bahagia hari itu.
Liat di instagram, mereka mah bisa foto bareng sama Bapak, menghabiskan waktu dengan Bapak. Aku? Mungkin kamu juga? Melihat matanya saja sudah tidak pernah.
Satu lagi yang sangat, sangat, sangat aku rindukan. Aku rindu dijemput pulang sekolah naik mobil yang kata temanku, itu mobil penjahat, dan beliau bilang "Penjahat tidak mungkin mencium anak kecil seperti ini." Beliau mencium kedua pipiku.
Comments
Post a Comment