Hanya Berbekal Kata

"Aku bodoh membaca tulisanmu"
Kenapa manusia yang selama ini aku tuliskan pada diksi yang ku jadikan lentera yang tidak akan pernah padam, bisa mengatakan hal demikian?
Ada yang salah dengan tulisanku?
Apa aku salah memberi nyawa pada tulisanku?
Sedang aku melibatkan nyawamu dalam tulisanku. Ku rasa dia mulai keberatan menjadi apa-apa yang selalu aku libatkan dalam hal menulis --apalagi hariku-- baiklah.

Seharusnya aku sadar, tapi aku tidak kunjung sadar bahwa semuanya sudah berakhir dan kita sudah temukan akhir.

Terkaanku salah, pagi ini dia membacanya, tapi bukan lekuk sabit yang aku lihat. Tidak ku temukan hingar selepasnya dia membaca tulisanku.
Dia mencaci dirinya sendiri, seperti yang aku tulis di paragraf pertama.

Akhirnya tak perlu menunggu lama untuk dia tahu bahwa rasaku masih sama.

Aku?
Menghela..
Untuk apa dia membaca tetapi mengutuk dirinya sendiri?
Kenapa kau tidak mengutukku saja?

Aku tidak merasa bersalah, toh dalam tulisanku aku tidak mengatakan sedang jatuh cinta pada manusia lain, kan?
Yang jelas aku yang bodoh, karena aku menunggu manusia yang tidak meminta untuk ditunggu, kan?
Kau tidak bodoh, aku yang bodoh.

Kau hanya membaca tulisanku dari satu sisi, kau mencari cela dari tulisanku.
Sedangkan tulisanku yang berarti bahwa aku masih disini, menunggumu tidak pernah kau gubris.
Sudah ku bilang, kau hanya mencari sudut cela tanpa melihat sudut lainnya yang mungkin jika kau sudi untuk membaca, kau akan merasa sempurna.

Kau terlalu menerka semua yang aku tulis adalah aku, padahal tidak selalu.
Bisa saja aku tulis kisahnya menjadi hiperbola, atau sebaliknya.
Jadi, itu tergantung bagaimana kau membacanya.

Saat aku tidak memilih untuk tidak jatuh cinta pada siapapun, itu bukan karena kau. Aku memang sudah tidak ingin merasakan jatuh lalu patah~~

Tanpa mengatakan kau tidak percaya pun, aku sudah tahu kau tidak pernah percaya pada semua ucapanku. Tidak ada lagi yang harus kau katakan, tanpa kau katakan pun aku sudah tau apa yang akan kau katakan.
Bicaramu akan membuatku patah, lagi.

Biarkan aku rehat dari segala patah.

Satu lagi yang tidak aku mengerti dari cara berpikirmu,
Ucapanku tidak pernah kau dengar, tidak pernah kau percaya, kau selalu menganggapku sedang membual, kau menilai bahwa yang aku ucapkan tidak sesuai dengan keadaan.
Lantas, kenapa kau begitu percaya dengan semua tulisanku tapi tidak dengan ucapanku?

Aku menuliskan tentangmu hanya berbekal kata dan kenang


Comments