Dia Ada Mendengarkan Puisiku

Kita sudah sempurna untuk berpura-pura menjadi asing. Maksudku, aku dan kamu.
Terlalu utuh kalau aku menyebut kita.

Malam itu kita bersembunyi dibalik ruang yang penuh kata-kata, aku sudah melihatmu dari kejauhan, denyutku semakin tak karuan. Aku enggan masuk pada ruang itu, tapi aku harus membaca puisi disana.

Aku sempat berdebat dengan kornea mataku, aku memintanya untuk tidak melihatmu tapi kornea mataku memaksa untuk menatapmu. Mana yang aku turuti? Aku atau kornea mataku?
Jelas kornea mataku.

Untuk pertama kalinya setelah kau ada pada pelukan yang salah, aku menatapmu. Cukup lama.
Hah! Kenapa kau membalas tatapan dengan senyuman?

Aku benar-benar marah pada kornea mataku, "Kalau kau terus menatapnya, kau akan selalu jatuh cinta. Berhentilah memaksaku untuk menatapnya. Bukankah matanya yang selalu membuatmu jatuh cinta?"
Akhirnya dia menurutiku.

Padahal, dia tidak suka kopi. Tapi malam ini dia memaksakan.
Apa karena perempuanmu? Kau ingin disebut sama sebagai pecandu kopi seperti perempuanmu?
Bodoh!!
Aku tidak mungkin senang melihat perutnya sakit karena kopi.

Entah,
Aku berhasil merebut kopi yang sedang ia minum, "Aku tidak suka kamu memaksakan."
Dia terdiam, menatapku.

Mungkin maksudnya, apa pedulimu? Toh kita bukan siapa-siapa.
Tak berkutik, dia langsung minum air putih dan kopi itu aku habiskan sendiri.
Aku dan kamu, minum pada gelas yang sama.

Malam ini menjadi malam puisi tidak seperti biasanya, bayangkan saja.. Dia ada, di tempat yang sama, dia ada untuk mendengarkan puisiku. Dia yang selama ini menjadi objek puisiku, ada.
Bukan lagi bayang atau ingatan.

Setelah dia selalu membaca puisi yang perempuannya tulis setiap hari, malam ini dia akan mendengar puisiku, aku yang pernah menjadi perempuannya tempo hari.

Aku harus bisa menjadi asing baginya, aku tidak akan menatapnya ketika membaca puisi.
Kali ini aku gagal lagi, langkah kaki menyeretku untuk mendekat pada kursi yang sedang dia duduki.
Tidak ada perdebatan, aku kalah.

Ketika aku berhasil tidak menatapmu, kenapa langkahku malah mendekati ragamu?
Kornea mataku bilang, matamu terus menatapku. Benar begitu?
Kornea mataku bilang, matamu sangat sayu ketika mendengar puisiku. Benar begitu?
Kornea mataku bilang, dia melihat kebahagiaan dalam matamu. Benar begitu?

Kalau iya,
Aku berhasil memberikan usai yang membuatmu bahagia.

Setelah malam ini, apalagi yang harus diceritakan? Tidak ada, kan?
Kau sudah bahagia, dan aku harus segerah enyah.

Kalau suatu saat perempuanmu membaca tulisanku --meski tidak sebagus tulisannya--
Dia pasti menerka aku masih mencintaimu, dan mungkin akan terjadi pertengkaran kecil antara kalian. Mungkin karena perempuanmu takut kehilanganmu. Atau perempuanmu takut kau akan kembali pada pelukku. Sampaikan pada perempuanu, tidak usah takut! Aku tidak akan merebutnya dari pelukmu. Akalku masih waras.

Aku tidak peduli, aku tidak mengganggu kalian. Aku hanya meluahkan perasaanku, memang apa salahnya?

Setelah menjadi asing, kenapa aku masih membanggakanmu didepan mereka, ya?
Dengan bangganya aku menceritakan bahwa kau adalah objek puisiku selama ini. Lagi-lagi kau hanya tersenyum. Kau senang, ya?

Senangmu denganku tidak seperti senangmu dengan perempuanmu.
Aku tidak senang melihatmu senang, karena kini ada dua perempuan yang membuatmu senang. Aku tidak mau ada diantara salah satu itu, lebih baik aku yang mengalah.

Meski aku dan kamu bukan lagi siapa-siapa, aku tidak menyesal mengenalkanmu pada mereka yang selama ini bertanya-tanya, "Sebenarnya siapa objek puisi yang kamu tulis?"
Aku hanya menyesal kenapa aku bukan lagi alasan untukmu bahagia.

Dia. Malam ini ada mendengarkan puisiku.

Sudah, ya?
Terima kasih kamu, sudah mau datang untuk mendengarkan puisiku :)
Hari-hari selanjutnya, kau tidak akan mendengar tentangku lagi, tentangku yang memilhmu ditengah kau yang tidak memilihku. Kau tidak akan temukan lagi aku sebagai perempuan yang mencintaimu :)

Comments

Post a Comment