Temu Bulan Juni


Manusia yang sudah sejak lama ingin dijadikan subjek yang selalu aku tuliskan, memintaku untuk mempuisikan "sosoknya" tapi, tak pernah aku gugu permintaannya. Aku menulis tentangmu dibuku yang selalu menemani soreku saban hari, dan belum ingin aku tunjukan pada pembaca. Tulisan tentangmu hanya aku pembacanya, mungkin juga dengan dua malaikat yang menemaniku menulis dan Dia yang mengizinkan aku untuk menuliskan tentangmu.

Aku menyesal mengabaikan inginmu, padahal ini hal sederhana yang pernah kau minta selama mengenalku. Dengan lentiknya jemariku menulis kisah orang lain yang kisahnya ingin dituliskan-- oleh penulis semacamku--
Tidak ada hebat-hebatnya memang menjadi aku, hanya mengaku-ngaku sebagai penulis dan tidak ada bakat yang aku punya selain "menulis" --tentangmu-- oh bukan, ternyata tentang siapapun bisa aku tuliskan.

Aku senang bisa bertemu denganmu di bulan Juni, jika puisi yang Sapardi tulis adalah Hujan Bulan Juni maka aku ingin menuliskan tentangmu pada cerita Temu Bulan Juni :)

--------------------------------------------------

Kau mungkin terlanjur muak pada tulisan dan puisiku, kau kecewa dengan tulisan yang rela aku tuntaskan sampai dini hari --tapi bukan kisah kita--
Ah, maaf. 
Entah, aku benar-benar sulit menuliskan kisah kita, aku tidak ingin menggunakan kata yang biasa, ketika aku menggunakan kata yang tidak sempurna aku berpikir kau pasti kecewa, kau enggan lagi menjadi pembacaku.

Dugaanku salah,
Kau tetap menerima sekalipun "kau pikir" puisiku untuk orang lain, puisiku hanya sebatas kisah pembaca yang ingin dipuisikan olehku.
Kau mengorbankan hatimu hanya agar aku tetap menjadi penulis? Sebenarnya hatimu terbuat dari apa?
Dengan legowo kau tidak pernah mempermasalahkan tulisanku sedikitpun.
"Tulis apa yang kamu tulis selama kamu ingin menulis. Meskipun sedikit menyakitiku dengan kisah yang harus aku terka, aku bangga kau jadi penulis." Kau ingat tidak?
Semuanya terekam jelas dikepalaku. Kau satu-satunya sosok yang tidak pernah mempermasalahkan tulisanku.

Harus ku akui kau memang sosok yang menemaniku menulis ketika aku hanya menulis dibuku yang selalu kau beri setiap libur semester, sampai aku bisa menjadi penulis puisi di beberapa buku yang sudah launching, itu karenamu. Ka-re-na-mu. 
Terima kasih, ya?

Pasti aku terlambat. Kau sedang tidak ingin membaca tulisanku, kan? 
Mengapa sesal selalu diakhir, ya?
Jika Sang Kuasa merestuiku untuk bisa menerbitkan buku, aku pastikan kau adalah sosok pertama yang akan aku undang sebagai tamu istimewa di bedah buku perjalanan menulisku --meskipun kita sudah tidak bersama--

Comments