Pradugamu Salah, Tuan

Mulutnya berbicara dengan lantang seolah tulisan-tulisan yang ia terka adalah benar. Mengumpulkan semua praduga yang menurutnya, ia takkan salah. Semua pradugamu salah, Tuan.
Sampai kapan aku akan terkurung dibatasi untuk menulis? Untuk melangkah? Tulisanku bisa saja tentangmu, tulisanku bisa saja bukan tentangmu. Pikiranmu terlalu dangkal untuk hal seperti ini.

Kau terlalu banyak mengumpulkan praduga dalam pembenaran atas dirimu yang merasa maha hebat.
Darimana kau bisa menyimpulkan bahwa aku akan menikah? Hah, kau bercanda!
Pradugamu atas semua tulisanku terlalu diluar nalar. Mana mungkin hanya dengan tulisan, dengan hebatnya kau menerka kisah sang penulis--- Bukan hanya aku tentunya.
Seperti yang aku katakan di paragraf pertama, aku kadang menyangkutpautkan tulisan dengan kisahku, kadang hanya imajinasi yang tiba-tiba saja menyelinap masuk ke otakku.
Aku mohon, jangan seperti ini.

Bukankah jadi penulis itu bebas? Bebas membahasakan rasa, bebas merangkai rindu, membebaskan dari ketidakinginan untuk hidup, dan yang paling penting adalah membebaskan diri dari kesedihan dan patah hati.
Aku tidak mungkin berhenti menulis hanya karena satu orang yang menilai bahwa tulisanku runyam. Bodoh kalau aku lakukan ini.

Jika suatu saat aku menjadi penulis betulan, kurasa kau akan melakukan hal yang sama. Terus membuat praduga terhadap buku yang aku terbitkan-- Jika Sang Maha mengizinkan. Sebenarnya semua pembaca berhak memiliki praduga masing-masing, tapi bagaimana kalau nyatanya praduga yang kau genggam telah membuat hariku terusik? 





Comments