Ketika kehendak Allah tidak sesuai dengan yang diharapkan, kita bisa apa?
Aku pikir kisah yang selama ini ditumpah luahkan dalam bentuk tulisan akan berakhir dengan hingar bingar, nyatanya?
Aku harus menerima kenyataan bahwa manusia yang selalu ku tuliskan, manusia yang tidak pernah absen untuk ku ceritakan di setiap rangkaian diksi bukanlah sesuatu yang ada di garis takdir-Nya.
Apakah aku bermimpi?
Tidak, diri.
Ini nyata, aku bukanlah takdirnya.
Sebagian menyalahkanku, kenapa aku menerima kebahagiaan manusia baru? Sebagian lagi senang --karena aku tidak akan berjuang sendiri lagi--
Takdir tidak pernah salah.
Aku yang salah karena tidak mempersiapkan ruang kecil untuk kecewa.
Aku selalu mengingat bagaimana Dia menuliskan skenario indah-Nya. Skenario yang orang lain anggap tidak adil.
Sekuat apapun kita pertahankan, kita tidak bisa menolak takdir-Nya.
Meskipun doa bisa merubah takdir mungkin doa manusia baru, memintaku untuk menemani separuh hidupnya lebih Allah sukai. Doanya lebih sering ia panjatkan, ia lebih sering meminta daripada kau.
Aku tidak menyalahkan siapapun, ini hanya soal takdir.
Aku tidak pernah menyesal pernah mengenalkan manusia seperti kau pada semesta. Meskipun sudah ku tiadakan, semesta tetap tau kau pernah bersamaku. Dan sebagian akan bertanya-tanya, siapa manusia baru ini?
Ah, aku ingin segera mengenalkan (lagi) pada semesta bahwa manusia yang tidak pernah ada dalam doaku ternyata diam-diam mendoakanku dan akan menjadi manusia yang menemani perjalanan menulisku, saban hari. Dan ku pastikan kau manusia baru yang terakhir ku kenalkan pada semesta.
Sulit? Tentu, menghadapi semuanya tidaklah mudah.
Menerima kabar bahwa kelak aku akan bersama dengan manusia baru mungkin membuatmu ingin segera bangun dari mimpi buruk.
Lantas, haruskah aku tetap bertahan?
Meskipun pengabaian sering ku rasakan?
Mengapa tidak ada jeda?
Kalau ku jelasakan, kau akan mendengarnya?
Bukankah semua puisi saja tidak kau baca, apalagi hanya omonganku?
Bisa ku tebak kau akan berpura-pura tuli.
Tenang,
Kau tidak akan menemukan lagi aku yang selalu merengek,
Tugasku unuk membuatmu tersenyum sudah selesai.
Bagi pembaca yang mengikuti setiap kisah dan puisi pasti akan mengerti bagaimana bisa aku memilih manusia baru.
Runtutan puisi bertema luka, kisah yang mengisahkan kehilangan, kecewa dan pada akhirnya sejauh mana aku menceritakan kau hingga pada akhirnya kini aku akan menuliskan manusia baru.
Penantianku terbayar oleh manusia baru yang tidak pernah ku bayangkan.
"Bagaimana rasanya jika kelak kau dibersamakan dengan manusia yang tidak pernah ada dalam doamu?"
Sudah lama aku ingin menulis dengan judul itu, tapi ide belum menampakannya.
Dan kini sudah saatnya..
Untuk manusia baru,
Di sudut hati masih ada ketakutan akan mengecewakan manusia yang memutuskan untuk hidup bersamaku. Tapi, aku ingin kau beruntung memilihku.
Allah itu Maha Baik.
Aku meminta yang baik, Allah beri yang terbaik.
Manusia baru, sudah siap menjadi nadiku?
Masih mau mencintai terlalu dalam hingga akhirnya merasakan kecewa sampai ke dasar?
Waktu lima tahun saja jika bukan takdir Allah, kita tidak bisa apa-apa :)
Semoga setelah membaca tidak ada pembaca yang ingin diceritakan secara live kisah ini. Hehehe.
Aku pikir kisah yang selama ini ditumpah luahkan dalam bentuk tulisan akan berakhir dengan hingar bingar, nyatanya?
Aku harus menerima kenyataan bahwa manusia yang selalu ku tuliskan, manusia yang tidak pernah absen untuk ku ceritakan di setiap rangkaian diksi bukanlah sesuatu yang ada di garis takdir-Nya.
Apakah aku bermimpi?
Tidak, diri.
Ini nyata, aku bukanlah takdirnya.
Sebagian menyalahkanku, kenapa aku menerima kebahagiaan manusia baru? Sebagian lagi senang --karena aku tidak akan berjuang sendiri lagi--
Takdir tidak pernah salah.
Aku yang salah karena tidak mempersiapkan ruang kecil untuk kecewa.
Aku selalu mengingat bagaimana Dia menuliskan skenario indah-Nya. Skenario yang orang lain anggap tidak adil.
Sekuat apapun kita pertahankan, kita tidak bisa menolak takdir-Nya.
Meskipun doa bisa merubah takdir mungkin doa manusia baru, memintaku untuk menemani separuh hidupnya lebih Allah sukai. Doanya lebih sering ia panjatkan, ia lebih sering meminta daripada kau.
Aku tidak menyalahkan siapapun, ini hanya soal takdir.
Aku tidak pernah menyesal pernah mengenalkan manusia seperti kau pada semesta. Meskipun sudah ku tiadakan, semesta tetap tau kau pernah bersamaku. Dan sebagian akan bertanya-tanya, siapa manusia baru ini?
Ah, aku ingin segera mengenalkan (lagi) pada semesta bahwa manusia yang tidak pernah ada dalam doaku ternyata diam-diam mendoakanku dan akan menjadi manusia yang menemani perjalanan menulisku, saban hari. Dan ku pastikan kau manusia baru yang terakhir ku kenalkan pada semesta.
Sulit? Tentu, menghadapi semuanya tidaklah mudah.
Menerima kabar bahwa kelak aku akan bersama dengan manusia baru mungkin membuatmu ingin segera bangun dari mimpi buruk.
Lantas, haruskah aku tetap bertahan?
Meskipun pengabaian sering ku rasakan?
Mengapa tidak ada jeda?
Kalau ku jelasakan, kau akan mendengarnya?
Bukankah semua puisi saja tidak kau baca, apalagi hanya omonganku?
Bisa ku tebak kau akan berpura-pura tuli.
Tenang,
Kau tidak akan menemukan lagi aku yang selalu merengek,
Tugasku unuk membuatmu tersenyum sudah selesai.
Bagi pembaca yang mengikuti setiap kisah dan puisi pasti akan mengerti bagaimana bisa aku memilih manusia baru.
Runtutan puisi bertema luka, kisah yang mengisahkan kehilangan, kecewa dan pada akhirnya sejauh mana aku menceritakan kau hingga pada akhirnya kini aku akan menuliskan manusia baru.
Penantianku terbayar oleh manusia baru yang tidak pernah ku bayangkan.
"Bagaimana rasanya jika kelak kau dibersamakan dengan manusia yang tidak pernah ada dalam doamu?"
Sudah lama aku ingin menulis dengan judul itu, tapi ide belum menampakannya.
Dan kini sudah saatnya..
Untuk manusia baru,
Di sudut hati masih ada ketakutan akan mengecewakan manusia yang memutuskan untuk hidup bersamaku. Tapi, aku ingin kau beruntung memilihku.
Allah itu Maha Baik.
Aku meminta yang baik, Allah beri yang terbaik.
Manusia baru, sudah siap menjadi nadiku?
Masih mau mencintai terlalu dalam hingga akhirnya merasakan kecewa sampai ke dasar?
Waktu lima tahun saja jika bukan takdir Allah, kita tidak bisa apa-apa :)
Semoga setelah membaca tidak ada pembaca yang ingin diceritakan secara live kisah ini. Hehehe.
Comments
Post a Comment