Memilihmu membuatku terlahir kembali. Kau manusia yang pernah
aku banggakan pada semesta. Aku kira kau akan menemani sampai kopi ini habis,
ternyata sebelum kopi ini dingin dan senja terlelap kau memilih pergi; dalam
kebisuan. Padahal kita sudah lama tidak duduk satu meja disaksikan dua cangkir
kopi.
Ribuan kalimat yang aku lontarkan ketika
temu tidak sedikitpun membuatmu berbicara --kau nampak bisu dan tuli--.
Sekelilingku menatap heran seakan bertanya “Kenapa perempuan ini tetap
berbicara dengan manusia tuli?”
Ah, aku ramai sendiri di kesunyian
Senyap, hening
Sunyi tanpa riuh hanya embusan angin yang aku rasa
Tanpa tatap yang menatap
Tanpa senyum yang menyungging
Kau tetap diam
Aku jemu dibuatnya
Adakah yang lebih kau sukai dari sekedar senyum perempuan yang
ada di depanmu?
Mungkinkah ada mata yang lebih menjadikanmu dunianya daripada
aku? Otakku terus berputar merangkai cerita dari waktu ke waktu. Merangkai
jutaan bahkan milyaran abjad dan berusaha menjadikanmu tersenyum. Gagal.
Mungkin dengan segala kemungkinan kau tetap bisu selama aku berbicara dan akan
bersuara ketika aku berpuisi.
Sepertinya aku harus berbincang denganmu melalui puisi agar kau
mengerti.
Aku tidak suka keramaian dan lebih menikmati sunyi dalam hening.
Kali ini aku membenci sunyi, aku ingin melabrak sunyi membiarkan kau berbicara
dan mendengar semua cerita.
Bodoh,
Aku masih enggan beranjak
Memilih menetap sampai kau berbicara
Sampai rindu tak lagi menderu
Jarum jam berlalu
Kini aku tenggelam dalam lautan matamu
Akhirnya aku kehabisan kata, dan enggan untuk bercerita (lagi)
Ingin rasanya ku ubah tempat ini menjadi tepian paling sunyi
tanpa manusia
Kau tuli untuk mendengar ceritaku, bolehkah aku bercerita pada
telinga lain?
Aku luruh
Karena kebisuannya
Karena ketuliannya
Aku merasakan lagi perih yang teramat
Hatiku kembali tidak utuh
"Tak usah berharap lagi suaramu akan didengar. Karena hanya
tinta hitam yang tak akan bisu dan tuli." Pesan diri untuk hati.

Comments
Post a Comment