Pertemuanku dengan Bapak setelah 4
tahun tidak bertemu. Canggung? Tentu. Bapa menghampiriku yang duduk paling
belakang kursi keluarga, mencoba menunduk namun akhirnya terlihat juga.
Sepupuku bilang, mata Bapak selalu melihat ke arahku. Bukannya tidak mau
menatap kembali tatapan Bapak yang amat sangat ku rindukan, aku baru saja
menangis dan pasti kini mataku sedang memerah. Tidak mungkin aku bertemu
dengannya dengan wajah yang kusut, dan mata yang sembab.
Langkahnya kian mendekat untuk
memelukku, sebisa mungkin aku membayangkan cerita-cerita bahagia bahkan lelucon
dengan Bapak –dulu- agar aku bisa tersenyum kembali. Tapi semua itu gagal,
karena selera humorku yang rendah aku hanya tersenyum tipis sangat tipis.
Bapak
yang lebih tinggi dariku sedikit membungkuk untuk memeluk.
Pelukannya
sangat erat tapi entah aku tidak bisa membalas pelukan erat itu, tangan mungil
ku biarkan menjuntai tidak melingkar di punggung lelaki yang semakin tua.
“Maaf...”
Aku
kembali mengeluarkan jurus senyum tipis yang paling tipis sambil mengangguk.
Pertanda aku sudah memaafkannya jauh sebelum Bapak meminta maaf.
Demi
Allah, aku tidak pernah membenci Bapak. Sekalipun dia tidak pernah ada untukku,
apalagi ketika aku ulang tahun. Tidak ada doa yang dia kirimkan –mungkin dia
lupa- tapi siapa tau di setiap sujudnya dia selalu mendoakan keluarga
pertamanya.
Untung
pelukan itu tidak berlangsung lama, andai pelukan diperpanjang 5 detik saja aku
pasti akan menangis dan akan memeluknya lebih erat.
Aku
pun sudah tau, Bapak membersamaiku hanya berlangsung beberapa jam itupun tak
banyak obrolan diantara kita. Kita hanya sibuk memandangi tamu yang sedang makan
siang sambil menikmati musik.
Andai
waktu bisa berhenti berputar, aku ingin seperti ini berada di ruangan yang sama
dengan Bapak meskipun tidak banyak bicara, setidaknya kita lebih dekat di
ruangan tanpa sekat.
Aku yang tidak pernah posting foto
keluarga ternyata mengundang rasa penasaran Netizen, sebenarnya bukan hanya aku
yang tidak pernah foto dengan keluarga, teman-temanku juga ada dengan alasan
Ibunya anti foto, adiknya yang selalu menolak bahkan mengamuk ketika diajak
foto dan alasan lainnya.
Sebelum
aku posting foto keluarga, ada beberapa yang dm ataupun email yang katanya
penasaran dengan wajah Bapak. Se-penasaran itukah? Sampai mereka memberanikan
diri untuk mengungkapkan.
Kebanyakan yang email memang mungkin
mereka tidak ingin aku kembali mencari tau sebenarnya mereka siapa. Tapi tenang
aku tidak pernah merasa terganggu.
Aku
pernah berjanji akan menunjukan piala dan buku menulisku pada Bapak, tapi
ternyata hati tidak lebih kuat. Aku lebih memilih menyembunyikan piala dibalik
boneka beruang yang cukup besar.
Mungkin Bibi gereget dengan Bapak,
dia menyayangkan anaknya pernah berprestasi dalam hal menulis tapi Bapak tidak
tau menahu.
“Anakmu
itu pelukis...”
Mungkin
maksudnya penulis namun Bibi lupa lagi namanya T.T
Aku
tidak mengelak, hanya terdiam sambil terus menulis puisi yang sampai sekarang
belum beres. Hehehe
Ingin
sekali berteriak “Aku penulis, Pak” sudah bisa Netizen tebak, lidahku kembali
kelu.
“Anak
siapa dulu dong yaa, jago lukis.” Sesekali menepuk punggungku.
Ah,
bahkan sampai saat ini Bapak tidak tau aku sangat menyukai dunia menulis.
“Mau
dibelikan kanvas sama cat air? Yu beli sekarang. Mana coba lihat hasil
melukismu?”
Aku
pun menggigit bibir agar menahan air mata tidak mengalir.
Aku
penulis, Pak.. Bukan pelukis.
Inginku
mengatakan itu dengan lantang. Namun aku lebih memilih diam.
Andai dia tahu bukan kanvas da cat
air yang ku inginkan.
Aku
ingin buku, kertas yang banyaaak –karena sebelum puisi beres, aku menulis di
kertas agar nanti di buku tidak banyak coretan- pulpen dan pensil.
Aku
pun berlalu untuk sholat ashar sebelum aku terjebak diantara obrolan yang
mendewasa.

Comments
Post a Comment