Setelah
hampir 30 hari saya tidak beradu padu dengan aksara, ternyata ada beberapa
teman yang sengaja chat saya hanya untuk menanyakan “belum ada cerita lagi?”
wah terimakasih banyak untuk kalian yang selalu ingin tahu tentang cerita saya.
Kali ini akhirnya Allah memberikan kekuatan untuk kembali menulis. Entah tidak
ada cerita, atau terlalu banyak cerita yang harus saya ceritakan hingga sulit
untuk menumpah luahkan.
Impian
terdekat saya adalah menerbitkan buku, itupun karena saya mendapat hadiah
voucher penerbitan Penulis Terbaik. Sayang, voucher itu hanya berlaku satu
tahun. 2 bulan berlalu saya baru menyelesaikan 1 judul dan masih acak-acakan. Sebagian
pembaca mungkin sudah tahu karena saya sering upload foto laptop dengan ratusan
aksara, dan semua hanya sekedar impian.
Selama
30 hari saya tidak pernah mengunjungi blog dan membuka folder beberapa halaman
naskah yang ingin dibukukan. Para pembaca yang budiman, hati yang terlalu
perasa benar-benar tidak baik untuk hati. Selipkan secuil kerasnya hati agar
siap menerima komentar dari Netijen atau bahkan jika suatu saat seseorang yang
selama ini menjadi penyemangatmu untuk tetap menulis, mengecewakanmu. Hal ini
tidak menutup kemungkinan akan mengubah suasana hati. Mungkin tipe penulis seperti
saya tidak bisa menulis ketika hati sedang tidak baik-baik saja dan bisa
kembali menulis beberapa hari kemudian. Namun banyak juga penulis yang makin menggila
untuk menulis ketika hatinya mulai terluka.
Semua
orang punya cara tersendiri untuk memperbaiki hati.
Bagaimana
bisa saya tetap menulis jika orang yang selama ini turut andil dalam tiap
aksara mengecewakan?
Eh,
mengecewakan dalam hal apa maksudnya?
Memang
ada hati yang harus Teh Udew jaga? Siapa?
Saya
yakin pertanyaan yang sama selalu terlontar dari ketikan Netijen.
Tapi,
entahlah...
Setelah
kecewa semakin mendekat, saya tidak pernah lagi menulis.
Hari-hari
saya disibukkan dengan membaca.
Sederhana;
radio dan buku adalah obat mujarab setelah Al-qur’an. Tidak ada yang bisa
membunuh kesedihan dan patah hati selain membaca. Saya merasa nyaman dalam
sunyi.
Lantas
apa yang menyebabkan saya bisa tanpa aksara selama 30 hari?
Padahal, dulu saya pernah ikut kelas menulis online dan semua peserta diwajibkan menyetorkan
satu naskah tiap harinya selama tiga bulan. Ide itu mengalir tanpa dipaksa. Tapi
hari ini untuk menulis satu naskah pun saya harus mengumpulkan ide dan niat
selama 30 hari.
Patah
hati memang luar biasa kejam. Dia bisa merubah seseorang yang ambis ingin menjadi
penulis, urung.
Saya
tahu ini hal tidak baik, saya sudah berusaha menghapus dan selalu gagal.
Akhirnya selama 30 hari saya membaca 7 buku. Luka karena patah hati kian samar
bahkan nyaris tak terlihat.
Teh,
bisa patah hati juga? Ehm ehm, nantikan cerita selanjutnya :D

Comments
Post a Comment