Kali ini aku akan menulis tentang hujan.
Entah karena rindu namun terabaikan atau apa. Pasalnya, sekarang musim hujan namun aku tak pernah menulis tentang hujan. Apakah ini pertanda bahwa aku lebih menyukai senja daripada hujan? Ah, kurasa tidak. Aku sangat menyukai keduanya dengan alasan yang berbeda. Mungkin saat ini aku sedikit beku untuk menulis hujan.
Sabtu sore. Hujan di bulan Oktober mengingatkanku pada Abah, itu sebutanku untuk Bapak. Entah akan menjadi hujan terakhir atau tidak. Hujan yang kita nikmati di mobil kala itu.. Tak ada tawa, tak ada obrolan. Yang ku dengar hanya suara hujan dengan petir yang cukup memekikan telinga. Dan aku hanya memeluk boneka beruang yang diberikan Abah. Ini boneka sudah Abah beli 2 minggu sebelum kesini, katanya.
Yang aku harapkan adalah memeluk orang yang memberinya. Aku sangat rindu pelukan itu. Mungkin terakhir aku merasakan peluk hangat Abah sudah 12 tahun silam. Lama, bukan? Aku benar-benar merindukannya.
Tak apa tak ada suara, tak apa tak ada tawa kecil di mobil ini. Dengan bersama pun sudah membuatku bahagia. Tak ada alasanku untuk tidak bahagia ketika berkumpul dengan diiringi backsound hujan.
Aku sempat tertidur sesaat sebelum Abah memarkirkan mobil di sebuah Rumah Makan yang tak asing. "Terakhir aku kesini SD, sekarang aku sudah Mahasiswa. Sudah lama kita tidak bersama, Bah." Ucapku dalam hati.
Abah sedikit berbisik "Ambil yang kamu mau." Aku hanya membalas dengan tawa kecil tanpa ada heem atau iya, Bah.
Sebenarnya aku sangat rindu kau berbincang dengan Ambu dan Teteh sampai larut malam, meskipun aku hanya mendengar samar suaramu di balik kamar. Dan itu membuat tidurku semakin nyenyak, karena aku yakin kalian menjaga tidurku. Dulu, 12 tahun silam.
Di meja makan pun tak ada obrolan istimewa, hanya suara kicauan burung dan hujan yang mulai menipis. Seperti ini pun aku sangat bahagia, sungguh.
Mungkin Abah mengerti. Suasana tidak akan mencair sampai ada yang memulai obrolan.
"Gimana kuliahnya? Sekarang semester berapa, De?"
"Semester 5" jawabku dengan sedikit menunduk sambil mengunyah.
Abah hanya bertanya padaku. Tidak pada Ambu dan Teteh.
Ah, tak apa hati tak apa. Yang penting aku bisa merasakan kebersamaan yang sangat dirindukan. Dan aku bisa menatap mata sayu Abah yang katanya mirip sekali dengan mataku. Aku bisa melihat bahwa mata Abah sangat bahagia namun terselipkan duka. Ya, aku mengerti.
Bah, tapi kau harus ingat. Sampai kapanpun kau akan menjadi Abah ku. Abah yang selalu memindahkan ku ke kamar ketika aku tidur di kursi 12 tahun silam.
Entah karena rindu namun terabaikan atau apa. Pasalnya, sekarang musim hujan namun aku tak pernah menulis tentang hujan. Apakah ini pertanda bahwa aku lebih menyukai senja daripada hujan? Ah, kurasa tidak. Aku sangat menyukai keduanya dengan alasan yang berbeda. Mungkin saat ini aku sedikit beku untuk menulis hujan.
Sabtu sore. Hujan di bulan Oktober mengingatkanku pada Abah, itu sebutanku untuk Bapak. Entah akan menjadi hujan terakhir atau tidak. Hujan yang kita nikmati di mobil kala itu.. Tak ada tawa, tak ada obrolan. Yang ku dengar hanya suara hujan dengan petir yang cukup memekikan telinga. Dan aku hanya memeluk boneka beruang yang diberikan Abah. Ini boneka sudah Abah beli 2 minggu sebelum kesini, katanya.
Yang aku harapkan adalah memeluk orang yang memberinya. Aku sangat rindu pelukan itu. Mungkin terakhir aku merasakan peluk hangat Abah sudah 12 tahun silam. Lama, bukan? Aku benar-benar merindukannya.
Tak apa tak ada suara, tak apa tak ada tawa kecil di mobil ini. Dengan bersama pun sudah membuatku bahagia. Tak ada alasanku untuk tidak bahagia ketika berkumpul dengan diiringi backsound hujan.
Aku sempat tertidur sesaat sebelum Abah memarkirkan mobil di sebuah Rumah Makan yang tak asing. "Terakhir aku kesini SD, sekarang aku sudah Mahasiswa. Sudah lama kita tidak bersama, Bah." Ucapku dalam hati.
Abah sedikit berbisik "Ambil yang kamu mau." Aku hanya membalas dengan tawa kecil tanpa ada heem atau iya, Bah.
Sebenarnya aku sangat rindu kau berbincang dengan Ambu dan Teteh sampai larut malam, meskipun aku hanya mendengar samar suaramu di balik kamar. Dan itu membuat tidurku semakin nyenyak, karena aku yakin kalian menjaga tidurku. Dulu, 12 tahun silam.
Di meja makan pun tak ada obrolan istimewa, hanya suara kicauan burung dan hujan yang mulai menipis. Seperti ini pun aku sangat bahagia, sungguh.
Mungkin Abah mengerti. Suasana tidak akan mencair sampai ada yang memulai obrolan.
"Gimana kuliahnya? Sekarang semester berapa, De?"
"Semester 5" jawabku dengan sedikit menunduk sambil mengunyah.
Abah hanya bertanya padaku. Tidak pada Ambu dan Teteh.
Ah, tak apa hati tak apa. Yang penting aku bisa merasakan kebersamaan yang sangat dirindukan. Dan aku bisa menatap mata sayu Abah yang katanya mirip sekali dengan mataku. Aku bisa melihat bahwa mata Abah sangat bahagia namun terselipkan duka. Ya, aku mengerti.
Bah, tapi kau harus ingat. Sampai kapanpun kau akan menjadi Abah ku. Abah yang selalu memindahkan ku ke kamar ketika aku tidur di kursi 12 tahun silam.

Comments
Post a Comment